Katinon dan Produk Turunannya
Mahardian Rahmadi ; Dosen Fakultas Farmasi Unair,
Kandidat PhD dalam Bidang Drug Dependence di Hoshi University School of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Jepang
JAWA POS, 31 Januari 2013
MASYARAKAT Indonesia dikejutkan berita besar. Yakni, penggerebekan
dan penangkapan 17 orang -empat di antaranya artis- oleh Badan Narkotika
Nasional (BNN) di rumah Raffi Ahmad. Selanjutnya, berbagai pernyataan
yang bernada kontroversial muncul tentang katinon, zat narkotika yang
tidak diatur dalam undang-undang.
Cathinone (baca: katinon) merupakan alkaloid yang diekstrak dari
tanaman khat (Chata edulis), tanaman herbal yang banyak tumbuh di Afrika
bagian utara. Katinon mempunyai struktur kimia mirip obat-obatan yang
sudah kita kenal, ephedrine dan amphetamine. Perubahan struktur kimia
pada katinon menghasilkan berbagai macam turunan zat atau komponen kimia
baru yang biasa disebut katinon sintetis.
Uniknya, katinon sintesis itu mempunyai potensi dan efek farmakologi
yang jauh lebih besar jika dibanding zat aslinya. Hingga saat ini,
terdapat lebih dari 10 buah katinon sintesis. Beberapa yang sering
disalahgunakan adalah 4-Methylmethcathinone (mephedrone);
3,4-Methylenedioxypyrovalerone (MPDV); dan
3,4-Methylenedioxymethcathinone (methylone).
Mephedrone juga dikenal dengan nama lain meow, plant food, bubbles,
MCAT, dan bath-salt. Sementara itu, methylone dikenal dengan nama lain
explosion. Di antara turunan katinon itu, methylone mempunyai struktur
kimia yang sangat mirip dengan MDMA/ekstasi, sehingga efek yang
ditimbulkan sangat mungkin juga mirip ekstasi.
Katinon sintesis biasanya terdapat dalam bentuk serbuk, kristal, dan
larutan. Selain itu, terdapat dalam bentuk tablet dan kapsul. Rute
administrasi/penggunaannya bergantung pada bentuk sediaannya. Cara
penggunaan yang paling banyak dilakukan pengguna katinon sintetis adalah
mengisap serbuk/kristal obat tersebut melalui hidung atau menelannya
bila zat itu dimasukkan dalam tablet atau kapsul. Rute administrasi
lainnya adalah melalui injeksi langsung intravena, dimasukkan lewat
rektal, atau menelan mentah-mentah serbuk yang dibungkus dengan kertas.
Para pecandu umumnya menggunakan obat-obatan itu dengan mencoba-coba
yang akhirnya mengalami ketergantungan. Awalnya, obat-obatan tersebut
akan menimbulkan efek menyegarkan tubuh, menghilangkan rasa lelah,
menambah stamina, dan menambah kepercayaan diri. Umumnya mereka tidak
sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan atas penggunaan obat-obatan
itu.
Berbagai artikel ilmiah menunjukkan, penggunaan katinon sintesis
secara akut maupun kronis bisa berakibat buruk, bahkan membahayakan
kesehatan. Penggunaan secara akut dalam dosis efektif bisa mengakibatkan
gejala palpitasi jantung, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan warna
(discolorization) pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia,
serta halusinasi. Bahkan pada dosis yang sangat besar, bisa
mengakibatkan kematian.
Gejala yang muncul pada penggunaan jangka panjang yang dirasakan
pecandu obat-obatan tersebut, antara lain, paranoid, perdarahan hidung,
rusaknya gigi, gangguan penglihatan, kaku pada rahang dan pundak,
agitasi, tremor, serta demam atau berkeringat dingin. Penggunaan dalam
jangka panjang juga akan meningkatkan risiko kematian karena overdosis.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa katinon sintesis mampu menimbulkan
ketergantungan psikis dan fisik, seperti halnya obat-obat psikostimulan
lainnya.
Seperti umumnya obat-obatan yang bisa menimbulkan ketergantungan,
katinon sintesis bekerja dengan meningkatkan kadar neurotransmitter
dopamin dan serotonin. Jika amphetamine dan turunannya lebih dominan
meningkatkan kadar dopamine, serotonin atau MDMA/ekstasi lebih dominan
meningkatkan kadar serotonin dibanding dopamine. Katinon sintesis itu
mampu meningkatkan kadar dua neurotransmitter tersebut dalam jumlah yang
sangat besar (hingga 900 persen dari kadar normal).
Karena itu, beberapa penelitian menunjukkan, efek farmakologis
turunan katinon tersebut merupakan kombinasi antara methamphetamine
(sabu) dan MDMA (ekstasi). Bahkan, beberapa kasus kematian karena
katinon sintesis tersebut disebabkan sebuah sindrom yang dinamakan
sindrom serotonin. Yakni, terjadi peningkatan kadar serotonin dalam
jumlah besar di otak dan seluruh tubuh yang mengakibatkan gangguan
jantung, pembuluh darah, sistem saraf, dan organ-organ penting lainnya.
Identifikasi awal katinon dan katinon sintesis dalam cairan tubuh
seperti halnya urine atau dalam darah dapat dilakukan dengan tes warna.
Namun, pengujian itu sering menimbulkan false positif/kurang spesifik.
Validasi dengan metode lain yang lebih tepercaya haruslah dilakukan.
Beberapa teknik analisis tersebut, antara lain, teknik kromatografi gas
dengan tandem spektrofotometri masa. Selain itu, spektrofotometer
infrared dan nuclear magnetic resonance (NMR).
Berdasar efek farmakologi dan bahaya kesehatan yang ditimbulkan
tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam konvensi substansi
psikotropika 1971 memasukkan katinon ke dalam daftar narkotika golongan
I, suatu narkotika atau psikotropika yang hanya boleh digunakan untuk
penelitian, tidak boleh digunakan untuk pengobatan. Seperti halnya dalam
Undang-Undang Kesehatan No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam tabel
konvensi 1971 tersebut, hanya terdapat dua buah katinon yang masuk
dalam golongan I. Yaitu, katinon dan meth-katinon, sedangkan turunan
lainnya tidak dimasukkan atau belum masuk dalam daftar golongan I
tersebut.
Negara-negara lain seperti Amerika Serikat melalui rekomendasi DEA
(Drug Enforcement Administration, BNN-nya AS) telah memasukkan turunan
lainnya, terutama MPDV, mephedrone, dan methylone, ke dalam golongan I
psikotropika. Pada 2011, DEA kembali menegaskan bahwa tiga katinon
sintetis tersebut termasuk dalam narkotika yang ilegal dan sangat
membahayakan.
Peryataan BNN bahwa narkotika tersebut tidak termasuk dalam
Undang-Undang Kesehatan sangat mungkin benar. Karena itu, sangatlah
urgen bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan DPR,
untuk segera merevisi undang-undang tersebut. Tentunya tidak hanya
terkait dengan katinon dan turunannya, tapi juga produk narkotika dan
psikotropika lainnya yang saat ini mungkin belum masuk dalam pasal-pasal
di undang-undang. Selain itu, para akademisi dan peneliti, khususnya
dalam bidang kesehatan, hendaknya mengkaji lebih dalam mengenai zat
narkotika/psikotropika tersebut